Pernikahan teman- teman bunda

Alhamdulillah menjelang bulan ramadhan tahun ini banyak sekali teman-teman yang melaksanakan sunnatullah... Pernikahan. Ini ada beberapa moment yang dapat di abadikan oleh teman saya, Yuni Lisnawati.. Saya Upload yang bu foto-fotonya.

Pernikahan Melvin dan Bramuda
07 Agustus 2009




Pernikahan Mugi Waluyo dan Emma Hotimatul Fauziah
08 Agustus 2009



Pernikahan Evi dan Ade
17 Agustus 2009

Menikah ( Buat yang belum, akan dan telah )




Benarkah menikah didasari oleh kecocokan?
Kalau dua-duanya doyan musik, berarti ada gejala bisa langgeng..
Kalau sama-sama suka sop buntut berarti masa depan cerah...(is that simple?........) itu semua bukan ukuran utk menikah atau mempertahankan pernikahan.

Tapi liat analogi-analogi berikut :

Bilamana sepasang sandal yang hanya punya aspek kiri dan kanan, menikah adalah persatuan dua manusia, pria dan wanita. Dari anatomi saja sudah tidak sebangun, apalagi urusan jiwa dan hatinya.

Kecocokan, minat dan latar belakang keluarga bukan jaminan segalanya akan lancar... Lalu apa?

MENIKAH adalah proses pendewasaan. Dan untuk memasukinya diperlukan pelaku yang kuat dan berani. Berani menghadapi masalah yang akan terjadi dan punya kekuatan untuk
menemukan jalan keluarnya.

Kedengarannya sih indah, tapi kenyataannya?
Harus ada 'Komunikasi Dua Arah', 'Ada kerelaan mendengar kritik', 'Ada keikhlasan meminta maaf', 'Ada ketulusan melupakan kesalahan,dan keberanian untuk mengemukakan pendapat secara JUJUR'.

Sekali lagi
MENIKAH bukanlah upacara yang diramaikan gending cinta, bukan rancangan gaun pengantin ala cinderella, apalagi rangkaian mobil undangan yang memacetkan jalan.

MENIKAH adalah berani memutuskan untuk berlabuh,ketika ribuan kapal pesiar yang gemerlap memanggil-manggil.

MENIKAH adalah proses penggabungan dua orang berkepala batu dalam satu ruangan dimana kemesraan, ciuman, dan pelukan yang berkepanjangan hanyalah bunga.

Masalahnya bukanlah menikah dengan anak siapa, yang hartanya berapa, bukanlah rangkaian bunga mawar yang jumlahnya ratusan, bukanlah perencanaan berbulan-bulan yang akhirnya membuat keluarga saling tersinggung, apalagi kegemaran minum kopi yang sama...

MENIKAH adalah proses pengenalan diri sendiri maupun pasangan anda. Tanpa mengenali diri sendiri, bagaimana anda bisa memahami orang lain...?? Tanpa bisa memperhatikan diri sendiri, bagaimana anda bisa memperhatikan pasangan hidup...??

MENIKAH sangat membutuhkan keberanian tingkat tinggi,toleransi sedalam samudra, serta jiwa besar untuk bisa saling 'MENERIMA' dan 'MEMAAFKAN', yg bukan sekedar MENERIMA kritikan atau MEMAAFKAN kesalahan semata akan tetapi MENERIMA dan MEMAAFKAN dlm arti yg luas dan mendalam.

Esensi Mahar: Bukan sekedar Cinderamata




“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. ” (QS. An-Nisa: 4)

Alangkah indahnya memulai sebuah biduk rumah tangga dengan penuh kasih sayang. Sebentuk hadiah, terlebih bila amat sesuai dengan keinginan sang istri yang diberikan oleh sang suami di awal mahligai pernikahan akan membuka pintu hati istri tentang makna sebuah keikhlasan dan gambaran usaha yang sungguh-sungguh dari laki-laki yang kini menjadi suaminya.

Mahar adalah Harta
Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang esensi mahar, mari sejenak kita mengulas cerita pernikahan seorang artis muda Indonesia dengan seorang mualaf yang berasal dari Negeri Kincir Angin: Maudy Koesnaedi & Erik Meijer. Di tabloid Nova tertanggal 30 September 2001, digambarkan sebuah pesta yang begitu meriah dan indah dengan dekorasi dan tema bernuansa Belanda. Terlepas dari segala kemegahan bahkan kekurangan yang terdapat dalam pesta pernikahan mereka, ada satu pelajaran yang dapat kita ambil, yaitu tentang mahar yang diberikan oleh Erik Meijer kepada istri tercinta. Erik memberikan mahar berupa uang tunai 23.901 Gulden (atau setara dengan Rp96.000.000,00 di waktu itu) beserta seperangkat perhiasan, anting dan kalung emas yang bertahtakan berlian (masya Allah!). Semoga Allah memberikan ketetapan iman Islam kepada Tuan Erik agar mampu menjadi imam yang baik, serta menjadikan rumah tangga mereka sakinah, mawaddah, wa rahmah. Aamiin.

Sebuah contoh teladan bagi kita. Sungguh Erik Meijer telah mengikuti tuntunan sunnah Rasulullah Saw. dalam memberikan mahar yang bernilai bagi istrinya. Sangat berbeda dengan budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat kita —yang sudah jauh mengenal Islam lebih dulu daripada beliau—, yang “gemar” memberikan mahar berupa Al-Qur’an dan seperangkat alat salat. Sungguh, sama sekali saya tidak meragukan bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang mulia, pun perlengkapan salat yang menjadi “pakaian kebesaran” untuk menghadap Sang Khalik. Namun, saya pun yakin bahwa mayoritas dari mempelai wanita tersebut sudah memiliki Al-Qur’an dan perlengkapan salat (jika ia bukan mualaf).

Mari kita renungkan kenyataan yang ada di masyarakat. Berapa banyak pasang suami-istri yang membaca Al-Qur’an setiap harinya? Atau seberapa sering sang suami salat berjama’ah dengan sang istri dengan mengenakan perlengkapan salat yang diberikan? Seringkali Al-Qur’an dan seperangkat alat salat dijadikan simbol kesalihan saat pernikahan. Namun setelah itu, tak jarang Al-Qur’an hanya disimpan rapi di lemari, jarang disentuh, apalagi dibaca, dihayati, dan diamalkan. Menyedihkan! Bahkan, seringkali saya jumpai mahar dengan dua benda tadi seringkali justru menjadi pajangan di rumah karena dinilai terlalu berharga atau memorable untuk dibaca dan dikenakan. Sungguh ironis!

Saya belum pernah membaca kisah para sahabat yang memberikan mahar kepada istrinya sebagaimana trend yang berkembang di masyarakat kita saat ini. Kisah yang ada di zaman sahabat, jika ia kaya, maka mahar yang diberikan adalah harta terbaiknya berupa kemewahan yang dimiliki. Begitu pula jika ia miskin, maka ia berikan harta terbaik yang ia miliki. Atau jika ia benar-benar tak memiliki harta, maka ia boleh memberikan “Hafalan Al-Qur’an” sebagai maharnya kepada sang istri. Mahar yang kemudian menjadi “jasa” untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada sang istri.

Menurut Ustadz Ahmad Sarwat, Lc., pengasuh rubrik ”Ustadz Menjawab” di eramuslim.com mengatakan bahwa pada hakikatnya mahar itu adalah harta (bagi sang istri) yang dapat dinilai dengan uang, bukan sekadar simbol belaka, apalagi cinderamata. Dengan harta atau uang tersebut, mahar dapat dikatakan memiliki fungsi ekonomi bagi seorang istri. Ia menjadi sebuah jaminan finansial bagi kehidupan sang istri kelak. Itulah mengapa Rasulullah Saw. membolehkan untuk mencicil mahar karena pada dasarnya memang harga mahar itu mahal dan dapat dinilai dengan uang.

Saya pun pernah mendengar dari abang-abang yang pernah berkuliah di Iran mengatakan bahwa di sana “harga” seorang wanita sangatlah mahal. Bagi para adam yang sudah berkeinginan untuk menikah namun belum mampu memenuhi permintaan mahar dari pihak wanita maupun keluarganya, mereka pun mengajukan permohonan untuk dapat mencicilnya.
“Mahar kemudian menjadi hak milik sang istri secara penuh, bukan harta bersama dengan penggunaan di bawah kendali sang suami”, ujar Ustadz Ahmad Sarwat, Lc.

Kepemilikan mutlak mahar bagi seorang istri menyebabkan mahar bukanlah termasuk ke dalam harta gono-gini yang harus dibagi bila terjadi perceraian (na’uudzubillaah!). Dengan kepemilikan yang demikian, maka mahar bisa menjadi modal bagi kehidupan seorang istri bila sesuatu terjadi dari perkawinannya, entah karena suaminya meninggal dunia atau karena ia diceraikan (na’uudzubillaah!). Karena pada kenyataannya tidak semua istri bisa mandiri secara finansial, maka akan lebih berguna lagi bila mahar yang diberikan berupa harta yang produktif, mungkin kendaraan yang bisa dijadikan penghasil finansial, seperti angkot, atau harta tak bergerak yang menjadi modal usaha, seperti bengkel, fitness centre, salon & kolam renang muslimah, restoran, rumah kontrakan, kafe buku, dan lain-lain (hehe... contoh-contoh yang aneh ya? ^_^)

Jadi, mahar ini jangan hanya dianggap sebagai sebuah cinderamata atau tanda mata saja. Bicara sah atau tidak sah, salah atau tidak salah, pemberian maskawin (mahar) berupa Al-Qur’an dan seperangkat alat salat memang tidak ada salahnya, dan pernikahan tetaplah sah. Akan tetapi, yang perlu dicatat di sini adalah fungsi ekonomi sebuah mahar bagi istri tentu saja tidak terpenuhi (apalagi kalau sekadar uang sejumlah 1111 misalnya, itu sih main-main... Padahal mencari uang Rp1,00-nya saja sudah susah... ^_^, kecuali bagi para penjual uang kuno atau bagi mereka yang bekerja di instansi pembuat uang kali ya?)

Batasan Jumlah Mahar
Sebagian ulama ada yang memberi batasan terhadap jumlah mahar, namun sebagian besar tidak. Hal ini sebagaimana tergambar dalam kisah pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab. Saat itu, Umar pernah membatasi jumlah mahar tak boleh lebih dari 400 dirham. Akan tetapi, pernyataan tersebut ditentang oleh seorang wanita sembari mengutip QS. An-Nisa, “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain (mengawini istri yang baru), sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” Mendengar hal ini, Umar bin Khattab pun mengakui kekhilafannya dan berkata, “Wanita itu benar, akulah yang salah” (Majalah Ummi edisi spesial 2008). Bagaimana tidak? Allah sendiri memungkinkan pemberian “harta yang banyak” dari suami kepada istrinya, lantas mengapa pula manusia membatasinya?

Rasulullah Saw. sendiri, yang hidupnya dimanteli kesederhanaan, memberi mahar untuk istrinya dengan jumlah yang cukup besar, terutama untuk ukuran masyarakat Indonesia saat ini. Diriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman ra. Bahwa dia berkata, “Aku bertanya kepada ‘Aisyah ra., ‘Berapakah besar mas kawin Rasulullah Saw.?’ Ia menjawab, ‘Mas kawin beliau kepada istri-istrinya adalah dua belas uqiyyah dan satu nasy. Tahukah engkau apa itu satu nasy?’ Aku menjawab, ‘Tidak.’ Dia menjawab, ‘Setengah uqiyyah, jadi semuanya lima ratus dirham. Inilah mas kawin Rasulullah Saw. kepada istri-istrinya.” (HR. Muslim). Bahkan untuk Khadijah ra., Rasulullah Saw. memberikan mahar 20 ekor unta merah, di riwayat yang lain 70 ekor, bahkan pada riwayat lain lagi sebanyak 100 ekor unta merah yang merupakan alat transportasi paling mewah di masa itu (Hehe, coba bayangkan kalau diberi mahar 100 buah mobil Land Cruiser yang per buahnya seharga lebih dari 1,6 miliar. ^_^)

Disebutkan pula oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Zaadul Maad, bahwa Umar bin Khattab pernah berkata, “Aku tidak pernah mengetahui Rasulullah Saw. menikahi seorang pun dari istrinya dengan mahar kurang dari 12 uqiyyah.” (HR. Tirmidzi). Begitu pun dengan para sahabat yang memberikan mahar kepada para istri mereka dengan jumlah yang beragam, seperti Abdurahman bin ‘Auf yang menikahi wanita Anshar dengan mahar emas sebesar biji kurma, Tsabit bin Qais yang memberikan mahar berupa kebun, atau seorang lelaki —dalam HR. Abu Dawud— yang memberikan mahar kepada istrinya sebuah kebun yang berharga seratus ribu dirham. Mahar Ali bin Abi Thalib ra. kepada Fatimah Az-Zahra ra. Adalah sebuah baju besi huthamiyah yang saat itu berharga amat tinggi. Sebaliknya, karena kemiskinannya, ada pula laki-laki yang memberi mahar sepasang sandal. Dari Amir bin Rabi’ah bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah menikah dengan mas kawin sepasang sandal, lalu Rasulullah Saw. bertanya, “Relakah kau dinikahi jiwa dan hartamu dengan sepasang sandal ini?” Ia pun menjawab, “Rela.” Maka Rasulullah Saw. pun membolehkannya. (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Atau ada juga seorang laki-laki, juga karena kemiskinannya, memberikan mahar berupa pengajaran beberapa ayat Al-Qur’an kepada istrinya, yang dikuasainya dengan baik. (HR. Bukhari-Muslim). Ada pula seorang laki-laki yang tidak memiliki harta apa pun untuk diberikan sebagai mahar kepada calon istrinya, Rasulullah Saw. tidak menolak untuk menikahkannya dengan mahar berupa ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dihafalnya. Maka beliau pun bersabda, “Aku nikahkan engkau dengannya dengan mahar surat Al-Qur’an yang engkau hafal.” (disarikan dari hadits yang sangat panjang dalam Kitab Shahih Bukhari Jilid IV, hadits no. 1587)

Berbagai riwayat tersebut menggambarkan bahwa Rasulullah Saw. dan para sahabat lebih memprioritaskan mahar yang memang berfungsi secara ekonomi, artinya yang memiliki nilai nominal. Akan tetapi, pada kondisi kemiskinan, di mana pihak laki-laki tak memiliki harta apa pun yang berharga untuk dijadikan mahar, ternyata mahar dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun dapat diterima, seperti sepasang sandal. Tentu saja dengan diiringi keridhaan wanita yang akan dinikahinya sebagaimana yang dilakukan oleh wanita dari Bani Fazarah tadi.

Mahar Murah Vs. Materialisme
Dewasa ini, memang seolah ada kecenderungan untuk menganggap mahar hanya sebuah tanda mata saja. Bahkan, karena khawatir dinilai matre atau sejenisnya, pihak istrilah yang terkadang merasa sungkan untuk meminta mahar bernilai tinggi. Tentu lain halnya bila pihak suami termasuk golongan miskin.

Semua ada ukurannya, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 236, “Orang yang mampu menurut kemampuannya, dan orang yang miskin menurut kemampuannya, yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Ustadz Ahmad Sarwat pun meluruskan makna dari hadits berikut ini, “Nikah yang paling besar barakahnya itu adalah yang murah maharnya. “ (HR. Ahmad). Menurut beliau, hadits ini merupakan reaksi Rasulullah Saw. terhadap kebiasaan wanita-wanita Arab dulu yang menyaratkan mahar yang teramat besar bagi lelaki yang ingin menikahinya. Sementara pada masyarakat kita yang memang tak biasa menyaratkan mahar yang bernilai besar, apakah lantas harus semakin dimurah-murahkan, sementara sang suami sebenarnya mampu memberikan lebih?

Dalam Islam, permintaan dan pemberian mahar sangat berbeda dengan sifat materialistis. Ini adalah ajaran Islam yang penuh hikmah, yang bertujuan untuk melindungi dan memuliakan wanita, serta memperkokoh keluarga. Maka, nilai ekonomis mahar sebagai jaminan kehidupan bagi seorang istri haruslah menjadi bahan pertimbangan karena Islam sangat menghargai dan melindungi kaum perempuan. Mahar adalah penjamin atas perpindahan tanggungjawab seorang wanita dari ayahnya kepada seorang laki-laki yang akan menjadi suaminya. Namun, perlu saya sampaikan pula bahwa permintaan mahar yang terlalu tinggi juga akan menghambat pernikahan, sebagaimana yang terjadi di negera-negara Teluk Persia sekarang ini. Sampai-sampai pemerintahnya harus turun tangan memberikan subsidi bagi para bujangan yang ingin menikah agar dapat segera menikah.

Jika sang calon suami berupaya untuk memberikan mahar terbaik, sementara sang calon istri tidak menuntut permintaan yang terlalu tinggi melampau kemampuan sang calon suami, alangkah indahnya...

Wallaahu a'lam bisshawab. Semoga Bermanfaat. ^_^

Pulang kampung - Makassar

Aduh udah lama sekali rasanya tidak posting... tapi apa boleh buat.. lagi lumayan banyak kerjaan nih dikantor jadi tidak sempat blogging deh..

ya udah kita review aja deh apa yang dilakukan abdullah baru-baru ini.

Tanggal 9 april 2009
Setelah abi dan bunda selesai nyontreng.. abi, bunda dan abdullah pulang ke kampungnya abi di makassar - Sulawesi Selatan. Maklum abdullah belum pernah ketemu sama puang mami, puang papi, puang irma, puang engka, puang putri dan puang yusril ( orang tua abi dan adik-adik abi ), soalnya terakhir abi dan bunda kesana... abdullah dikandungan bunda baru beberapa minggu.

Wah seneng sekali pergi ke makassar, karena sekarang bunda bisa makan masakan khas makassar seperti Pallu mara ( ikan bumbu kuning tetapi bening, rasanya asin dan asam.. seger... ), Pallu basa ( bentuknya seperti rawon, tapi ini dikasih serundeng / kelapa yang di sangrai sehingga berwarna kecoklatan ) dan Coto makassar.








Soalnya waktu pertama kali bunda ke makassar, bunda tidak bisa makan masakan tersebut maklum bunda lagi nyidam dan yang masuk cuma nasi putih dan telur goreng aja. Jadi sekarang puas-puasin deh makan masakan khas makassar, tapi sebenarnya belum puas juga sih ( alah bunda ini.. gak konsisten ) soalnya belum makan sop kondro / kondro bakar, mie titi, pisang epe, pallu butung ( di bogor sih ada, tapi pengen nyobain yang asli dari asalnya ) pisang ijo ( sama di bogor juga ada, tapi ya gitu deh.. hehehehehe ).

Cuma disana ada masalah juga.. abdullah gak mau di dekati sama puang mami dan puang papi ( orang tua abi ) juga dengan puang-puang yang lain ( adik-adik abi ) kecuali puang kecil / puang yusril ( adik abi yang bungsu yang baru kelas 3 SD ). Jadi agak repot juga, karena tidak mau ditinggal sama sekali.



Bisa di maklumi sih.. karena abdullah belum kenal sama mereka, jadinya tidak mau deh di gendong.. Tapi mudah-mudahan, nanti ketika kita pulang ke makassar lagi abdullah sudah mau bermain dengan puang-puangnya ( Insya Allah ).

10 Kesalahan dalam Mendidik Anak

Anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Maka, kita sebagai orang tua bertanggung jawab terhadap amanah ini. Tidak sedikit kesalahan dan kelalaian dalam mendidik anak telah menjadi fenomena yang nyata. Sungguh merupakan malapetaka besar ; dan termasuk menghianati amanah Allah.Adapun rumah, adalah sekolah pertama bagi anak. Kumpulan dari beberapa rumah itu akan membentuk sebuah bangunan masyarakat. Bagi seorang anak, sebelum mendapatkan pendidikan di sekolah dan masyarakat, ia akan mendapatkan pendidikan di rumah dan keluarganya. Ia merupakan prototype kedua orang tuanya dalam berinteraksi sosial. Oleh karena itu, disinilah peran dan tanggung jawab orang tua, dituntut untuk tidak lalai dalam mendidik anak-anak.

BAHAYA LALAI DALAM MENDIDIK ANAK

Orang tua memiliki hak yang wajib dilaksanakan oleh anak-anaknya. Demikian pula anak, juga mempunyai hak yang wajib dipikul oleh kedua orang tuanya. Disamping Allah memerintahkan kita untuk berbakti kepada kedua orang tua. Allah juga memerintahkan kita untuk berbuat baik (ihsan) kepada anak-anak serta bersungguh-sungguh dalam mendidiknya. Demikian ini termasuk bagian dari menunaikan amanah Allah. Sebaliknya, melalaikan hak-hak mereka termasuk perbuatan khianat terhadap amanah Allah. Banyak nash-nash syar’i yang mengisyaratkannya. Allah berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya” [An-Nisa : 58]

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhamamd) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” [Al-Anfal : 27]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban terhadap yang dipimpin. Maka, seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]
“Artinya : Barangsiapa diberi amanah oleh Allah untuk memimpin lalu ia mati (sedangkan pada) hari kematiannya dalam keadaan mengkhianati amanahnya itu, niscaya Allah mengharamkan sorga bagianya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

SEPULUH KESALAHAN DALAM MEDIDIK ANAK

Meskipun banyak orang tua yang mengetahui, bahwa mendidik anak merupakan tanggung jawab yang besar, tetapi masih banyak orang tua yang lalai dan menganggap remeh masalah ini. Sehingga mengabaikan masalah pendidikan anak ini, sedikitpun tidak menaruh perhatian terhadap perkembangan anak-anaknya.

Baru kemudian, ketika anak-anak berbuat durhaka, melawan orang tua, atau menyimpang dari aturan agama dan tatanan sosial, banyak orang tua mulai kebakaran jenggot atau justru menyalahkan anaknya. Tragisnya, banyak yang tidak sadar, bahwa sebenarnya orang tuanyalah yang menjadi penyebab utama munculnya sikap durhaka itu.

Lalai atau salah dalam mendidik anak itu bermacam-macam bentuknya ; yang tanpa kita sadari memberi andil munculnya sikap durhaka kepada orang tua, maupun kenakalan remaja.

Berikut ini sepuluh bentuk kesalahan yang sering dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anak-anaknya.

[1]. Menumbuhkan Rasa Takut Dan Minder Pada Anak
Kadang, ketika anak menangis, kita menakut-nakuti mereka agar berhenti menangis. Kita takuti mereka dengan gambaran hantu, jin, suara angin dan lain-lain. Dampaknya, anak akan tumbuh menjadi seorang penakut : Takut pada bayangannya sendiri, takut pada sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ditakuti. Misalnya takut ke kamar mandi sendiri, takut tidur sendiri karena seringnya mendengar cerita-cerita tentang hantu, jin dan lain-lain.

Dan yang paling parah tanpa disadari, kita telah menanamkan rasa takut kepada dirinya sendiri. Atau misalnya, kita khawatir ketika mereka jatuh dan ada darah di wajahnya, tangan atau lututnya. Padahal semestinya, kita bersikap tenang dan menampakkan senyuman menghadapi ketakutan anak tersebut. Bukannya justru menakut-nakutinya, menampar wajahnya, atau memarahinya serta membesar-besarkan masalah. Akibatnya, anak-anak semakin keras tangisnya, dan akan terbiasa menjadi takut apabila melihat darah atau merasa sakit.

[2]. Mendidiknya Menjadi Sombong, Panjang Lidah, Congkak Terhadap Orang Lain. Dan Itu Dianggap Sebagai Sikap Pemberani.
Kesalahan ini merupakan kebalikan point pertama. Yang benar ialah bersikap tengah-tengah, tidak berlebihan dan tidak dikurang-kurangi. Berani tidak harus dengan bersikap sombong atau congkak kepada orang lain. Tetapi, sikap berani yang selaras tempatnya dan rasa takut apabila memang sesuatu itu harus ditakuti. Misalnya : takut berbohong, karena ia tahu, jika Allah tidak suka kepada anak yang suka berbohong, atau rasa takut kepada binatang buas yang membahayakan. Kita didik anak kita untuk berani dan tidak takut dalam mengamalkan kebenaran.

[3]. Membiasakan Anak-Anak Hidup Berfoya-foya, Bermewah-mewah Dan Sombong.
Dengan kebiasaan ini, sang anak bisa tumbuh menjadi anak yang suka kemewahan, suka bersenang-senang. Hanya mementingkan dirinya sendiri, tidak peduli terhadap keadaan orang lain. Mendidik anak seperti ini dapat merusak fitrah, membunuh sikap istiqomah dalam bersikap zuhud di dunia, membinasakah muru’ah (harga diri) dan kebenaran.

[4]. Selalu Memenuhi Permintaan Anak
Sebagian orang tua ada yang selalu memberi setiap yang diinginkan anaknya, tanpa memikirkan baik dan buruknya bagi anak. Padahal, tidak setiap yang diinginkan anaknya itu bermanfaat atau sesuai dengan usia dan kebutuhannya. Misalnya si anak minta tas baru yang sedang trend, padahal baru sebulan yang lalu orang tua membelikannya tas baru. Hal ini hanya akan menghambur-hamburkan uang. Kalau anak terbiasa terpenuhi segala permintaanya, maka mereka akan tumbuh menjadi anak yang tidak peduli pada nilai uang dan beratnya mencari nafkah. Serta mereka akan menjadi orang yang tidak bisa membelanjakan uangnya dengan baik.

[5]. Selalu Memenuhi Permintaan Anak
Ketika Menangis, Terutama Anak Yang Masih Kecil.
Sering terjadi, anak kita yang masih kecil minta sesuatu. Jika kita menolaknya karena suatu alasan, ia akan memaksa atau mengeluarkan senjatanya, yaitu menangis. Akhirnya, orang tua akan segera memenuhi permintaannya karena kasihan atau agar anak segera berhenti menangis. Hal ini dapat menyebabkan sang anak menjadi lemah, cengeng dan tidak punya jati diri.

[6]. Terlalu Keras Dan Kaku Dalam Menghadapi Mereka, Melebihi Batas Kewajaran.
Misalnya dengan memukul mereka hingga memar, memarahinya dengan bentakan dan cacian, ataupun dengan cara-cara keras lainnya. Ini kadang terjadi ketika sang anak sengaja berbuat salah. Padahal ia (mungkin) baru sekali melakukannya.

[7]. Terlalu Pelit Pada Anak-Anak, Melebihi Batas Kewajaran
Ada juga orang tua yang terlalu pelit kepada anak-anaknya, hingga anak-anaknya merasa kurang terpenuhi kebutuhannya. Pada akhirnya mendorong anak-anak itu untuk mencari uang sendiri dengan bebagai cara. Misalnya : dengan mencuri, meminta-minta pada orang lain, atau dengan cara lain. Yang lebih parah lagi, ada orang tua yang tega menitipkan anaknya ke panti asuhan untuk mengurangi beban dirinya. Bahkan, ada pula yang tega menjual anaknya, karena merasa tidak mampu membiayai hidup. Naa’udzubillah mindzalik.

[8]. Tidak Mengasihi Dan Menyayangi Mereka, Sehingga Membuat Mereka Mencari Kasih Sayang Diluar Rumah Hingga Menemukan Yang Dicarinya.
Fenomena demikian ini banyak terjadi. Telah menyebabkan anak-anak terjerumus ke dalam pergaulan bebas –waiyadzubillah-. Seorang anak perempuan misalnya, karena tidak mendapat perhatian dari keluarganya ia mencari perhatian dari laki-laki di luar lingkungan keluarganya. Dia merasa senang mendapatkan perhatian dari laki-laki itu, karena sering memujinya, merayu dan sebagainya. Hingga ia rela menyerahkan kehormatannya demi cinta semu.

[9]. Hanya Memperhatikan Kebutuhan Jasmaninya Saja.
Banyak orang tua yang mengira, bahwa mereka telah memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Banyak orang tua merasa telah memberikan pendidikan yang baik, makanan dan minuman yang bergizi, pakaian yang bagus dan sekolah yang berkualitas. Sementara itu, tidak ada upaya untuk mendidik anak-anaknya agar beragama secara benar serta berakhlak mulia. Orang tua lupa, bahwa anak tidak cukup hanya diberi materi saja. Anak-anak juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Bila kasih sayang tidak di dapatkan dirumahnya, maka ia akan mencarinya dari orang lain.

[10]. Terlalu Berprasangka Baik Kepada Anak-Anaknya
Ada sebagian orang tua yang selalu berprasangka baik kepada anak-anaknya. Menyangka, bila anak-anaknya baik-baik saja dan merasa tidak perlu ada yang dikhawatirkan, tidak pernah mengecek keadaan anak-anaknya, tidak mengenal teman dekat anaknya, atau apa saja aktifitasnya. Sangat percaya kepada anak-anaknya. Ketika tiba-tiba, mendapati anaknya terkena musibah atau gejala menyimpang, misalnya terkena narkoba, barulah orang tua tersentak kaget. Berusaha menutup-nutupinya serta segera memaafkannya. Akhirnya yang tersisa hanyalan penyesalan tak berguna.

Demikianlah sepuluh kesalahan yang sering dilakukan orang tua. Yang mungkin kita juga tidak menyadari bila telah melakukannya. Untuk itu, marilah berusaha untuk terus menerus mencari ilmu, terutama berkaitan dengan pendidikan anak, agar kita terhindar dari kesalahan-kesalahan dalam mendidik anak, yang bisa menjadi fatal akibatnya bagi masa depan mereka. Kita selalu berdo’a, semoga anak-anak kita tumbuh menjadi generasi shalih dan shalihah serta berakhlak mulia. Wallahu a’lam bishshawab.

[Disadur oleh Ummu Shofia dari kitab At-Taqshir Fi Tarbiyatil Aulad, Al-Mazhahir Subulul Wiqayati Wal Ilaj, Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VII/1424H/20004M, Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta. Jl Solo – Purwodadi Km 8 Selokaton, Gondangrejo – Solo]

Tumbuh Gigi

Alhamdulillah abdullah sudah tumbuh gigi... dua di bagian depan bawah.

Pertama-tamanya sempat khawatir juga karena dah beberapa hari abdullah agak-agak demam tapi tidak tinggi, tidak mau makan, kalau malam rewel, inginnya gigit-gigit barang atau jari, ileran dan sempat diare. Kalau curhat sama teman-teman yang sudah punya anak sih katanya itu tanda-tanda mau tumbuh gigi... tapi kalau kata ibuku tidak semua bayi yang mau tumbuh gigi itu diare.. siapa tau ada penyakit yang lain.

Coba-coba Browsing di internet jawabannya pun sama.. ada yang bilang itu tanda-tanda tumbuh gigi dan ada juga yang bilang tidak harus dengan diare.. dan bahkan seharusnya, tumbuhnya gigi itu tidak menyebabkan sakit apapun. Nah loh.. bingung.. karena kasihan juga lihat abdullah yang sedikit kurus karena tidak mau makan sama sekali, dipaksa pun percuma.. anak tetap tidak mau makan, hati perih melihat anak yang menangis karena dipaksa makan. Dicoba dengan berbagai macam tim yang berbeda-beda siapa tahu abdullah sudah bosen dengan tim yang biasa saya buat tapi tetap tidak mau. Dikasih buah pun begitu, tidak mau... Tapi Alhamdulillahnya susu masih mau.

Dan satu lagi kebiasaan baru abdullah, kalau nyusu suka gigit-gigitin dan ditarik puting bunda. Tidak sakit sih, cuma geli aja.

Eh.. ternyata benar apa yang dikatakan oleh teman.. senin shubuh, bunda iseng cek gusi abdullah dan terasa ada sesuatu di gusinya, ketika bunda lihat ternyata ada gigi ( baru ujungnya sih ). Alhamdulillah.. langsung bunda hubungi abi yang sedang tugas di Poso...

Terima kasih ya Allah, karena engkau telah memberikan perkembangan yang cukup bagus untuk putraku Abdullah.

Abdullah 9 Bulan

Alhamdulillah abdullah hari ini sudah berumur 9 bulan 4 hari. Di usia abdullah yang sekarang ini.. abdullah sudah bisa apa ya??? mari kita telaah..

Jalan : belum bisa jalan tapi sudah senang sekali dipapah ( jalan sambil dipegangin tangannya / ketiaknya )dan suka sekali main di baby walker, kalau sudah di baby walker udah deh gak bisa ditinggal.. pengennya lari-lari terus.. bahkan sampai keluar rumah ( masih di teras sih ). Kalau pun main di luar pasti dengan pengawasan bunda, om, atau nenek bogor.

Duduk : kalau duduk sendiri masih belum bisa.. tapi kalau didudukin sekitar setengah jam pun abdullah bisa.. itupun tanpa dipegangin oleh bunda.

Bicara : baru bisa bicara.. ndah ( bunda, red ), gak ach, nda ( Tidak.. biasanya dengan diikuti gelengan kepala ), nye ( nenek, red ) dan suka sekali bersenandung.. nanananananannana... yayayayayayayyaya

Motorik : kalau digedong dengan badan menghadap kedepan.. kakinya selalu di ayun-ayunkan, kalau tidak mau makan atau minum susu biasanya suka menggeleng-gelengkan kepala ( bahkan baru diambilkan mangkoknya saja sudah menggeleng-gelengkan kepala ), kalau melihat bayangannya sendiri dikaca.. langsung gemaz.. semua badannya digoyang-goyangkan.. bahkan suka dekati kaca sambil ingin mencium atau bahkan menggigit karena gemaz.. sedangkan kalau sedang marah.. senangnya kucek-kucek mata dan hidung sambil teriak atau menangis..